Selasa, 30 Desember 2008

Obat bagi hepatitis C

Teknologi kedokteran dan farmakologi yang makin canggih, kini membuka peluang bagi penderita hepatitis C untuk sembuh secara total. Perusahaan farmasi dunia, PT Roche berhasil menemukan obat hepatitis C generasi baru, yang merupakan kombinasi Pegylated interferon dan Ribavirin. Terapi hepatitis C itu dapat mencegah progresi ke arah sirosis (pengerasan hati) dan kanker hati.

"Pegylated interferon dan Ribavarin merupakan baku "emas" untuk terapi hepatitis C kronik. Namun sayangnya, biaya terapinya masih mahal," kata Ketua Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia, dr Unggul Budihusodo dalam acara peluncuran program pendataan penyakit hepatitis C di Indonesia, di Jakarta, belum lama ini.

Penemuan obat terbaru itu, menurut dr Unggul, sangatlah penting jika melihat angka penderita hepatitis C di Indonesia yang menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Mengacu pada data badan kesehatan dunia, WHO, ada sekitar 7 juta penduduk Indonesia terinfeksi virus hepatitis C.

"Hepatitis C merupakan masalah primer kesehatan masyarakat, karena palin sering berlanjut menjadi hepatitis kronik, sirosis dan kanker hati primer yang dapat menimbulkan kematian," ujarnya.

Dr Unggul menambahkan hepatitis C patut mendapat perhatikan karena jika dibandingkan hepatitis B, virus hepatitis C "lebih ganas" dan lebih sering menyebabkan penyakit hati menahun. Perkembangbiakan virus hepatitis C amatlah produktif dan dapat mencapai 10 triliun kopi virus per hari.

"Infeksi hepatitis C juga disebut infeksi terselubung karena seringkali tidak bergejala. Kesakitan baru muncul sekitar 10-30 tahun, sehingga seseorang baru mengetahui tubuhnya terinfeksi setelah berada dalam keadaan sirosis lanjut, dengan komplikasi seperti bengkak, muntah darah, penurunan kesadaran," tuturnya.

Banyaknya orang yang tidak terdiagnosis hepatitis C, menurut dr Unggul, berdampak serius karena mereka dapat bertindak sebagai carrier (pembawa virus) dan menularkan pada orang lain tanpa disadari.

Penularan virus hepatitis C lewat darah melalui transfusi darah, pemakaian berulang jarum atau alat medis lainnya yang tidak steril, saling tukar suntikan oleh pengguna narkoba suntik maupun kontak langsung, seperti alat cukur, tindik telinga, tato dengan peralatan yang tidak steril.

Disinggung soal hubungan seks, dr Unggul mengatakan, penularan secara seksual dan perinatal dapat pula terjadi namun kasusnya sangat kecil. Risiko tular ibu ke anaknya melalui kehamilan sangat kecil (5 persen)

"Virus hepatitis C tidak ditularkan melalui bersin, memeluk, batuk, makanan, air, menggunakan peralatan makanana atau kontak tangan biasa," ucap Unggul.

Hal senada dikemukakan Ketua Kelompok Kerja Hepatitis Departemen Kesehatan, Prof Dr H Ali Sulaiman PhD, SpPD-KGEH. Katanya, jika tidak ditangani sejak dini, hepatitis C dapat menimbulkan beban ekonomi yang sangat besar.

Ia mencontohkan, bila penyakit yang disebabkan oleh virus itu berlanjut menjadi sirosis ringan. Dibutuhkan biaya pengobatan sekitar Rp 30 juta per orang per tahun. Bila menjadi sirosis berat, tanpa transplantasi butuh Rp 60 juta/orang/tahun.

"Jika sudah kanker hati, dan tidak ditransplantasi dibutuhkan dana Rp 120 juta/orang/tahun. Bila menjalani transplantasi biaya per operasi Rp 1,5 sampai Rp 2 miliar dengan biaya perawatan sesudahnya Rp 150 juta/tahun," paparnya.

Untuk itu, lanjut Prof Ali Sulaiman, pentingnya melakukan pemeriksaan darah guna mengetahui keberadaan virus hepatitis di hati. Pemeriksaan yang diperlukan adalah tes anti-HCV.

"Itu merupakan satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk mencegah penyebaran virus hepatitis karena infeksi yang bersifat kronik itu kebanyakan tidak bergejala (asimptomatik) sehingga sering tak disadari oleh penderitanya," ucapnya menegaskan.

Menurut Prof Ali, penyakit yang belum ada vaksin untuk pencegahannya itu boleh dibilang masuk dalam golongan penyakit menular, yang juga membutuhkan perhatian serius. Karena berpotensi mengakibatkan kejadian luar biasa penyakit.

Pendataan


Tentang hasil surveilans penyakit hepatitis C di 11 provinsi, Plh Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan, Tjandra Yoga Adhitama memaparkan, pihaknya mengumpulkan data hepatitis C konfirmasi laboratorium di 11 provinsi dengan 49 unit pengumpul data yang terdiri dari 13 rumah sakit (RS), 24 laboratorium, dan 12 unit transfusi darah.

Sebanyak 11 provinsi itu adalah DKI Jakarta, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Bali, Kalimantan, dan Papua.

Selama periode itu telah terkumpul 5.870 kasus hepatitis C di Indonesia. Dari pendataan itu, Depkes memperoleh data kasus hepatitis C di lokasi pendataan yang menjadi proyek percontohan menurut umur, yaitu terbanyak pada usia 30-59 tahun dengan puncak pada usia 30-39 tahun yang berjumlah 1.980 kasus.

"Dari total jumlah kasus itu, 84 persen di antaranya adalah pria, dengan faktor risiko 41 persen di antaranya pengguna narkoba suntik," ujarnya.

Untuk meningkatkan wilayah cakupan, Depkes akan melakukan pendataan tahap dua pada 1 Oktober 2008 sampai 31 Maret 2009.

Lokasi pendataan meliputi 10 provinsi, yaitu Kepulauan Riau, Jambi, Riau, Lampung, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, Banten, DI Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Barat. Adapun unit pengumpul data berjumlah 43 unit, yaitu 19 RS, 13 laboratorium, dan 11 unit transfusi darah.

Dr Tjandra Yoga menjelaskan, surveilans hasil kerja sama Depkes dan PT Roche Indonesia itu dilakukan untuk mengetahui besaran masalah hepatitis C di Indonesia. Hasil pendataan itu akan digunakan sebagai dasar pengembangan sistem surveilans penyakit hepatitis C yang akan dijadikan acuan penanggulangan masalah penyakit itu.

"Pencegahan, pengobatan, dan surveilans menjadi tiga kunci utama strategi penanggulangan hepatitis C. Hal ini bertujuan mengurangi penyebaran hepatitis C dan beban terkait penyakit ini, meningkatkan pemahaman tentang virus dan faktor-faktor risikonya di Indonesia," katanya.

Namun, Prof Ali Sulaiman, mengingatkan pentingnya ketersediaan layanan dalam pengobatan hepatitis C. Surveilans tanpa perbaikan akses terhadap layanan dan dukungan tidak akan bermanfaat apa-apa.

"Jika tak ada upaya mengatasi hal itu sekarang, 10-15 tahun ke depan akan ada ratusan ribu pasien dengan stadium akhir yang tak terobati, kanker hati, dan butuh transplantasi," tutur Prof Ali menandaskan. (Tri Wahyuni)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar